Jumat, 26 Agustus 2016

Alun-Alun Selatan (Kidul) Yogyakarta

Jika anda berkunjung ke Yogyakarta jangan lupa memasukkan Alun-Alun Kidul ke dalam list berwisata anda. Karena di sini anda tak hanya dapat menyaksikan upacara adat keagaman saja namun anda dapat menikmati warna-warni indahnya malam Kota Yogyakarta lewat gemerlap lampu-lampu sepeda dan odong-odong yang memadati Alun-Alun Kidul (Alkid) setiap harinya terutama hari Sabtu.
Untuk mengakses tempat ini direkomendasikan menggunakan sepeda dan motor karena kawasan ini tergolong padat. Namun jika kita hendak menggunakan mobil maupun alat transportasi umum juga bisa.

Banyak sekali macam-macam tansportasi yang disewakan di tempat ini mulai dari sepeda, sepeda tandem (sepeda dengan boncengan tiga), mobil-mobilan atau yang kerap disapa odong-odong, becak, dll.

Sama halnya dengan Malioboro, kita hanya cukup membayar biaya parkir jika hendak berkunjung ke tempat ini.

Alun-alun Kidul Yogyakarta dikenal dengan nama Alkid diyakini sebagai tempat istirahat ( palereman ) bagi para Dewa. Oleh karena itu alun-alun tersebut sekarang ini banyak digunakan orang sebagai tempat ngleremke ati atau menentramkan hati banyak orang.
Pada masa lalu, Alun-alun Kidul Yogyakarta ini banyak digunakan untuk acara-acara tertentu seperti latihan ketangkasan prajurit keraton, berbagai kegiatan latihan digelar seperti :
  • Setonan : ketangkasan berkuda.
  • Manahan : lomba memanah dengan posisi duduk bersila.
  • Rampok Macan : lomba adu harimau.
  • Masangin : Latihan konsentrasi dengan berjalan diantara dua pohon beringin (ringin kurung) yang berada di tengah Alkid dengan mata tertutup.
Saat ini sudah tidak ada prajurit yang melakukan latiihan ketangkasan di tempat tersebut. Areal yang terbuka dan berfungsi sebagai ruang publik dan arena hiburan untuk masyarakat. Setiap hari, tempat ini banyak didatangi oleh masyarakat dari berbagai usia.
 Keunikan dari Alkid ini yaitu memiliki 2 pohon kembar yang diyakini dapat mengabulkan permintaan jika kita bisa melewati kedua pohon ini dalam keadaan mata tertutup.

Namun sayang, pada siang hari alun-alun ini terlihat gersang karena rumput-rumputnya banyak tercabut karena sering diinjak oleh manusia dan banyak sampah berserakan karena pengunjung membuang sampah sembarangan. Tak hanya itu kondisi jalan semrawut dan cenderung berbahaya bila kita bersepeda karena banyak kendaraan parkir sembarangan dan lewat lalu lalang seenaknya.

Oleh sebab itu hendaklah kita membuang sampah dan parkir dengan tertib dan juga berhati-hatilah bila kita melewati jalan ini.

Sumber:
  • http://supryantohusen650.blogspot.co.id/2015/06/asiknya-wisata-malam-di-alun-alun-kidul.html
  • http://www.njogja.co.id/wisata-unik/alun-alun-kidul-yogyakarta/

Museum Sonobudoyo Yogyakarta

Museum Sonobudoyo adalah museum sejarah dan kebudayaan Jawa, termasuk bangunan arsitektur klasik Jawa. Museum ini menyimpan koleksi mengenai budaya dan sejarah Jawa yang dianggap paling lengkap setelah Museum Nasional Republik Indonesia di Jakarta.
 Sonobudoyo terletak di dekat Alun-Alun Kota Yogyakarta, untuk menuju ke sini jalan yang sering di akses yaitu melalui Jalan Malioboro lurus dan arah dari Taman Pintar ke Nol Kilometer belok ke kiri.

Untuk menuju ke sini disarankan menggunakan sepeda, motor, mobil maupun becak karena jika menggunakan Trans Jogja jaraknya terpaut jauh.

Untuk menikmati museum ini beserta isinya kita hanya perlu merogoh kocek sebesar Rp3.000,00 dan bagi wisatawan asing hanya perlu membayar Rp5.000,00. Namun harga tiket yang ditawarkan beragam, bila untuk anak-anak perseorangan cukup membayar Rp2.500,00 dan untuk rombongan anak-anak dan dewasa masing-masing dipatok Rp2.000,00 dan Rp2.500,00.
Tak hanya museumnya saja yang dapat kita nikmati, namun pagelaran wayang yang digelar di sinipun dapat kita nikmati hanya dengan membayar Rp20.000,00.

Museum Sonobudoyo dulu adalah sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Yayasan ini berdiri di Surakarta pada tahun 1919 bernama Java Instituut. Dalam keputusan Konggres tahun 1924 Java Instituut akan mendirikan sebuah museum di Yogyakarta. Pada tahun 1929 pengumpulan data kebudayaan dari daerah Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Panitia Perencana Pendirian Museum dibentuk pada tahun 1931 dengan anggota antara lain: Ir.Th. Karsten P.H.W. Sitsen, Koeperberg. 
Bangunan museum menggunakan tanah bekas “Shouten” tanah hadiah dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan ditandai dengan sengkalan candrasengkala “Buta ngrasa estining lata” yaitu tahun 1865 Jawa atau tahun 1934 Masehi. Sedangkan peresmian dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana VIII pada hari Rabu wage pada tanggal 9 Ruwah 1866 Jawa dengan ditandai candra sengkala “Kayu Winayang Ing Brahmana Budha” yang berarti tahun Jawa atau tepatnya tanggal 6  Nopember 1935 tahun Masehi. Pada masa pendudukan Jepang Museum Sonobudoyo dikelola oleh Bupati Paniradyapati Wiyata Praja (Kantor Sosial bagian pengajaran). Di jaman Kemerdekaan kemudian dikelola oleh Bupati Utorodyopati Budaya Prawito yaitu jajaran pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.
 
Selanjutnya pada akhir tahun 1974 Museum Sonobudoyo diserahkan ke Pemerintah Pusat / Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan secara langsung bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal dengan berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai Otonomi Daerah. Museum Sonobudoyo mulai Januari 2001 bergabung pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi DIY diusulkan menjadi UPTD Perda No. 7 / Th. 2002 Tgl. 3 Agustus 2002 tentang pembentukan dan organisasi UPTD pada Dinas Daerah dilingkungan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan SK Gubernur No. 161 / Th. 2002 Tgl. 4 Nopember tentang TU – Poksi.
 
Museum Negeri Sonobudoyo ini tersimpan 10 Jenis Koleksi :
  1. Jenis Koleksi Geologika
  2. Jenis Koleksi Biologika
  3. Jenis Koleksi Ethnografika
  4. Jenis Koeksi Arkeologi
  5. Jenis Koleksi Numismatika/ Heraldika
  6. Jenis Koleksi Historika
  7. Jenis Koleksi Filologika
  8. Jenis Koeksi Keramologika
  9. Jenis Koleksi Senirupa
  10. Jenis Koleksi Teknologika
Keunikan dari museum ini yaitu dapat menampung benda-benda bersejarah dari masa ke masa. Di museum ini juga menyimpan tulang-tulang dan alat-alat zaman purbakala yang masih terlihat bagus dan alami. Ditambah dengan gapura Bali yang berdiri megah menambah keelokan museum ini.

 Saat saya berkunjung ke museum ini pada tahun 2014 museum ini belum sepenuhnya selesai dibangun dan sangat disayangkan arca-arca dan benda dari batu seperti patung dan sejenisnya terkena hujan. Padahal kita tahu air dapat mempercepat pelapukan.

Bila kita berkunjung atau bertempat tinggal di Jogja, museum yang satu ini sangat haram untuk dilewatkan karena dari sinilah kita dapat mengetahui perkembangan zaman dari masa ke masa.

Sumber:
  • Dinas Pariwisata DIY
  • http://ikaaprilawati09.blogspot.co.id/2014/12/museum-sonobudoyo_47.html
  • http://www.sonobudoyo.com/id

Kraton Yogyakarta Kediaman Sultan Dari Masa Ke Masa

Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat yang akrab disapa Kraton Jogja merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.
Akses ke Kraton Yogyakarta sama mudahnya saat kita mengakses Taman Sari dan Malioboro karena letaknya yang berdekatan.
Kita bisa menggunakan becak dan andong sebagai transportasi publik dan sepeda, motor dan mobil sebagai transportasi pribadi.

Harga tiket masuk untuk wisatawan dalam negeri dan manca negara dibanderol dengan harga Rp7.000,00 dan Rp12.500,00 dan jika kita ingin membawa kamera dan berfoto dikenakan biaya Rp1.000,00. Di sini kita juga dapat menyewa seorang guide yang dapat memandu perjalanan kita selama di Kraton dengan harga yang terbilang cukup murah yaitu sekitar Rp30.000,00.
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
Nilai penting dari Kraton Yogyakarta selain menjadi tempat tinggal Sultan yaitu menjadi saksi bisu sejarah perjuangan rakyat Mataram dari sebelum penjajah datang hingga negara kita merdeka saat ini. Maka dari itu tempat ini harus dijaga dan dilestarikan turun temurun dan secara berkelanjutan.
Tak hanya bangunan saja yang unik namun Keraton Yogyakarta juga menyuguhkan berbagai acara unik yang bermanfaat untuk dinikmati seperti  Tumplak Wajik, Garebeg, Sekaten, Upacara Siraman, Labuhan. Dan acara ini pun banyak menarik antusiasme para wisatawan maupun penduduk di Kota Yogyakarta dan sekitarnya.

Jika bertandang ke Kraton Yogyakarta hendaklah tidak menyentuh barang-barang yang tidak boleh disentuh supaya tidak kotor dan mudah rusak mengingat usianya yang sudah cukup tua. Tak hanya itu keheningan juga harus dijaga karena merupakan tempat sakral dan kediaman sultan. Dan kita harus ingat dimanapun kita hendaklah menjaga kebersihan.

Sumber:
  1. Chamamah Soeratno et. al. (2004). Kraton Yogyakarta:the history and cultural heritage (2nd print). Yogyakarta and Jakarta: Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat and Indonesia Marketing Associations. 979-96906-0-9.
  2. Periplus Edition Singapore (1997). Periplus Adventure Guide "Java Indonesia". Periplus Singapore.
  3. R. Murdani Hadiatmadja (no year). Keterangan-keterangan tentang Karaton Yogyakarta. Yogyakarta: Tepas Pariwisata Karaton Ngayogyakarta.
  4. van Beek, Aart (1990). Images of Asia: "Life in the Javanese Kraton". Singapore: Oxford University Press. ISBN 979-497-123-5.
  5. Acara budaya dengan judul Pocung dalam episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat disiarkan oleh JogjaTV. 
  6. https://zuliadi.wordpress.com/2009/03/06/denah-kraton-yogyakarta/
  7. http://www.borobudursunrise.net/news78-harga-tiket-masuk-obyek-wisata-di-yogyakarta-2016.html

"Malioboro" Destinasi Wisata yang Tak Pernah Tidur

Malioboro terletak di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Nama Malioboro sendiri diangkat dari nama salah satu kawasan jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke Perempatan Kantor Pos Yogyakarta.
Malioboro sudah tersohor hingga seluruh kota di Indonesia bahkan hingga ke manca negara. Keunikan dari setiap hal yang ditawarkan membuat nama Malioboro semakin hari makin akrab ditelinga turis yang akan bertandang ke Yogyakarta.

Karena tempatnya yang strategis Malioboro dapat ditempuh melalui beberapa arah namun jalan yang paling sering diakses yaitu melalui Kotabaru lalu menuju Malioboro dan langsung parkir di bahu jalan Malioboro, namun karena adanya penertiban dari Pemerintah Kota Yogyakarta parkiran yang biasanya terletak di trotoar jalan ini dipindahkan menjadi satu di Parkiran Portable Abu Bakar Ali.

Transportasi yang ditawarkan menuju Malioboro pun beragam bisa menggunakan becak, ojek, andong, Trans Jogja rental motor dan mobil, maupun kita bisa menggunakan kendaraan pribadi kita sendiri.
Kalau ke Taman Sari kita berjalan cukup jauh dari shelter Trans Jogja namun tidak sama halnya jika kita berkunjung ke Malioboro karena kita dapat menjumpai banyak shelter Trans Jogja di kawasan ini.

Yang menarik lagi kita dapat berkunjung ke Malioboro secara cuma-cuma karena kita tidak perlu membayar tiket masuk hanya cukup membayar biaya parkir bila kita membawa kendaraan pribadi.

Dalam bahasa Sansekerta, kata “malioboro” bermakna karangan bunga. Itu mungkin ada hubungannya dengan masa lalu ketika Keraton mengadakan acara besar maka Jalan Malioboro akan dipenuhi dengan bunga. Kata malioboro juga berasal dari nama seorang kolonial Inggris yang bernama “Marlborough” yang pernah tinggal disana pada tahun 1811-1816 M. Pendirian Jalan Malioboro bertepatan dengan pendirian keraton Yogyakarta (Kediaman Sultan).
Malioboro memiliki banyak keunikan yang tak terbatas, mulai dari tempat wisata yang tak pernah tidur, tempat wisata yang menjual beraneka ragam benda maupun jasa, cara berjualan dan bertransaksi, hingga menjadi tempat untuk memamerkan patung hasil karya dan menjadi spot foto-foto saja.
Nilai tradisi di tempat ini juga termasuk kental karena letaknya yang berdekatan dengan Keraton Yogyakarta.

Namun sangat disayangkan ulah pedagang yang berjualan sembarangan membuat kawasan ini terasa padat dan semrawut, belum lagi para tukang becak dan pengemudi andong yang parkir sembarangan bahkan membiarkan kuda-kuda mereka buang air kecil dan besar seenaknya saja. Lalu ulah para wisatawan yang membuang sampah sembarangan semakin menambah kumuh tempat ini. Tak hanya itu saja para pedagang makanan kaki lima membuat jalan dan tembok di kawasan ini menjadi hitam dan berminyak karena aktivitas mereka yang kurang bertanggung jawab.

Maka dari itu, kita yang hanya berperan sebagai wisatawan hendaklah membuang sampah pada tempatnya. Dan bagi penjual barang maupun jasa, penjaja makanan dan transportasi mari juga ikut menjaga lingkungan ini agar bersih, nyaman dan lestari. Karena dari sinilah kita hidup maka sebagai gantinya kita harus merawatnya pula.

Sumber:
  • http://sayangyogya.blogspot.co.id/2010/05/wisata-belanja-di-seputaran-malioboro.html
  • http://pamungkaz.net/sejarah-malioboro-yogyakarta/

Taman Sari Yogyakarta

Taman Sari Yogyakarta adalah situs bekas taman atau kebun istana Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dapat dibandingkan dengan Kebun Raya Bogor sebagai kebun Istana Bogor.Taman Sari terletak di Jalan Taman, Yogyakarta.

 Taman Sari terletak di jantung Kota Yogyakarta, maka dari itu kita dapat mengaksesnya dari seluruh arah dan tergolong tidak sulit.
 Kita dapat mengakses Taman Sari menggunakan angkutan umum maupun angkutan pribadi. Angkutan umum yang dapat digunakan yaitu Trans Jogja, becak, ojek dan andong. Namun jika menggunakan Trans Jogja kita harus berjalan kaki lumayan jauh karena Trans Jogja hanya melayani pemberhentian dan pemberangkatan di shelter mereka saja dan jarak dari shelter ke Taman Sari lumayan jauh jadi kita harus berjalan kaki.

Lalu jika menggunakan transportasi pribadi kita bisa menggunakan motor maupun mobil dan kita hanya perlu berjalan sedikit karena Taman Sari sudah menyiapkan banyak parkiran motor dan mobil yang terdekat dengan Taman Sari.

Harga tiket masuk untuk turis domestik adalah Rp3.000,00 dan untuk turis manca negara dikenakan biaya Rp7.000,00

Taman Sari dibangun pada zaman Sultan Hamengku Buwono I (HB I) pada tahun 1758-1765/9. Awalnya, taman yang mendapat sebutan "The Fragrant Garden" ini memiliki luas lebih dari 10 hektare dengan sekitar 57 bangunan baik berupa gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, maupun danau buatan beserta pulau buatan dan lorong bawah air. Kebun yang digunakan secara efektif antara 1765-1812 ini pada mulanya membentang dari barat daya kompleks Kedhaton sampai tenggara kompleks Magangan. Namun saat ini, sisa-sisa bagian Taman Sari yang dapat dilihat hanyalah yang berada di barat daya kompleks Kedhaton saja.
Konon, Taman Sari dibangun di bekas keraton lama, Pesanggrahan Garjitawati, yang didirikan oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai tempat istirahat kereta kuda yang akan pergi ke Imogiri. Sebagai pimpinan proyek pembangunan Taman Sari ditunjuklah Tumenggung Mangundipuro. Seluruh biaya pembangunan ditanggung oleh Bupati Madiun, Tumenggung Prawirosentiko, beserta seluruh rakyatnya. Oleh karena itu daerah Madiun dibebaskan dari pungutan pajak. Di tengah pembangunan pimpinan proyek diambil alih oleh Pangeran Notokusumo, setelah Mangundipuro mengundurkan diri. Walaupun secara resmi sebagai kebun kerajaan, namun bebrapa bangunan yang ada mengindikasikan Taman Sari berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir jika istana diserang oleh musuh. Konon salah seorang arsitek kebun kerajaan ini adalah seorang Portugis yang lebih dikenal dengan Demang Tegis.
Kompleks Taman Sari setidaknya dapat dibagi menjadi 4 bagian. Bagian pertama adalah danau buatan yang terletak di sebelah barat. Bagian selanjutnya adalah bangunan yang berada di sebelah selatan danau buatan antara lain Pemandian Umbul Binangun. Bagian ketiga adalah Pasarean Ledok Sari dan Kolam Garjitawati yang terletak di selatan bagian kedua. Bagian terakhir adalah bagian sebelah timur bagian pertama dan kedua dan meluas ke arah timur sampai tenggara kompleks Magangan.

Taman Sari harus diangkat dan dilestarikan karena wilayahnya semakin lama makin dipadati oleh rumah-rumah penduduk yang menyebabkan sumber air yang tadinya digunakan untuk mengisi kolam permandian para selir kian habis dan menipis. Selain itu bangunan ini juga perlu dirawat karena mengingat usianya yang sudah tua dan mudah roboh.

Keunikan dari Taman Sari itu sendiri bangunan ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat wisata yang dulunya digunakan untuk mandi para selir namun tempat ini juga memiliki masjib bawah tanah yang dulunya diselimuti air yang dibangun dengan putih telur. Tak hanya itu juga bangunan ini juga memiliki kamar dan terdiri dari beberapa lantai. Arsitektur bangunan dan perabot yang ada pun menambah keunikan tempat ini, terlebih di setiap bangunan dan bendanya mereka memiliki filosofi tersendiri.

Namun di Taman Sari sendiri ketersediaan guide sangatlah sedikit sehingga 2x saya berkunjung ke sini saya hanya mendapatkan guide lokal yang tampilannya kurang memadai dan terkesan seperti guide pungli (pungutan liar) dan apa yang mereka tahu tentang Taman Sari hanyalah hal-hal yang mendasar saja dan bahkan ada yang tahu hanya spot foto yang bagus saja.

Pengunjung yang datang ke Taman Sari dihimbau untuk tidak memegang terlebih masuk ke dalam kolam permandian di Taman Sari karena airnya masih asli dari mata air yang ketersediaannya sedikit dan dianggap keramat. Maka dari itu supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kita lebih baik jangan mengotori area kolam ini dan sekitarnya.

Sumber:
  1. .... (2002). Indonesian Heritage 6: arsitektur. Jakarta: Buku Antar Bangsa. ISBN 979-8926-19-16 Check |isbn= value (bantuan).
  2. Periplus Edition Singapore (1997). Periplus Adventure Guide "Java Indonesia". Periplus Singapore.
  3. Thorn, William, Major (1993). The Conquest of Java (Periplus Edition, reprinted, originally 1815). Antiques of the Orient Pte. Ltd. ISBN 0-7946-0073-5.
  4. https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjF6bCjClTnLZmv5fVAtWNUy_6mPz5ZJ6dKVM8gvnHzBeuVD9mPEzq4u9cLnHd4uEtWjLJYFzrExLr6BV-pc_P1CkrgUd0R7hklIFRcmXk7uTCh3e0NFfQynHYWlikecjrfmNFUbE6UJf8Z/s1600/httpculturaldestination.blogspot.com.jpg 
  5. http://wisatapedi.com/sejarah-objek-wisata-taman-sari-keraton-yogyakarta/