Malioboro sudah tersohor hingga seluruh kota di Indonesia bahkan hingga ke manca negara. Keunikan dari setiap hal yang ditawarkan membuat nama Malioboro semakin hari makin akrab ditelinga turis yang akan bertandang ke Yogyakarta.
Karena tempatnya yang strategis Malioboro dapat ditempuh melalui beberapa arah namun jalan yang paling sering diakses yaitu melalui Kotabaru lalu menuju Malioboro dan langsung parkir di bahu jalan Malioboro, namun karena adanya penertiban dari Pemerintah Kota Yogyakarta parkiran yang biasanya terletak di trotoar jalan ini dipindahkan menjadi satu di Parkiran Portable Abu Bakar Ali.
Transportasi yang ditawarkan menuju Malioboro pun beragam bisa menggunakan becak, ojek, andong, Trans Jogja rental motor dan mobil, maupun kita bisa menggunakan kendaraan pribadi kita sendiri.
Kalau ke Taman Sari kita berjalan cukup jauh dari shelter Trans Jogja namun tidak sama halnya jika kita berkunjung ke Malioboro karena kita dapat menjumpai banyak shelter Trans Jogja di kawasan ini.
Yang menarik lagi kita dapat berkunjung ke Malioboro secara cuma-cuma karena kita tidak perlu membayar tiket masuk hanya cukup membayar biaya parkir bila kita membawa kendaraan pribadi.
Dalam bahasa Sansekerta, kata “malioboro” bermakna karangan bunga. Itu
mungkin ada hubungannya dengan masa lalu ketika Keraton mengadakan acara
besar maka Jalan Malioboro akan dipenuhi dengan bunga. Kata malioboro
juga berasal dari nama seorang kolonial Inggris yang bernama
“Marlborough” yang pernah tinggal disana pada tahun 1811-1816 M. Pendirian Jalan Malioboro bertepatan dengan pendirian keraton Yogyakarta
(Kediaman Sultan).
Malioboro memiliki banyak keunikan yang tak terbatas, mulai dari tempat wisata yang tak pernah tidur, tempat wisata yang menjual beraneka ragam benda maupun jasa, cara berjualan dan bertransaksi, hingga menjadi tempat untuk memamerkan patung hasil karya dan menjadi spot foto-foto saja.
Nilai tradisi di tempat ini juga termasuk kental karena letaknya yang berdekatan dengan Keraton Yogyakarta.
Namun sangat disayangkan ulah pedagang yang berjualan sembarangan membuat kawasan ini terasa padat dan semrawut, belum lagi para tukang becak dan pengemudi andong yang parkir sembarangan bahkan membiarkan kuda-kuda mereka buang air kecil dan besar seenaknya saja. Lalu ulah para wisatawan yang membuang sampah sembarangan semakin menambah kumuh tempat ini. Tak hanya itu saja para pedagang makanan kaki lima membuat jalan dan tembok di kawasan ini menjadi hitam dan berminyak karena aktivitas mereka yang kurang bertanggung jawab.
Maka dari itu, kita yang hanya berperan sebagai wisatawan hendaklah membuang sampah pada tempatnya. Dan bagi penjual barang maupun jasa, penjaja makanan dan transportasi mari juga ikut menjaga lingkungan ini agar bersih, nyaman dan lestari. Karena dari sinilah kita hidup maka sebagai gantinya kita harus merawatnya pula.
Sumber:
- http://www.harianjogja.com/baca/2013/12/20/nama-jalan-diganti-nama-lama-akan-dipakai-untuk-nama-jalan-lain-476018
- Suyenga, Joan A stroll down Yogyakarta's 'Main Street', pp.165-167 of Oey, Eric (1994) Java 2nd edition Periplus Editions ISBN 962-593-004-3
- Turner, Peter (1997). Java (1st edition). Melbourne: Lonely Planet. pp. 215–216. ISBN 0-86442-314-4
- http://sayangyogya.blogspot.co.id/2010/05/wisata-belanja-di-seputaran-malioboro.html
- http://pamungkaz.net/sejarah-malioboro-yogyakarta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar